Thursday, November 17, 2005

Indonesiana

Saya mengagumi satu sikap indah Mantan Presiden pertama kita (alm.) Soekarno, beliau adalah seorang nasionalis kelas berat. Beliau menyadari betul apa yang dimiliki oleh negara yang diperintahnya pada saat itu. Sumber daya alam yang berlimpah ruah, kalau kata grup Koes Plus, "... bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, ikan dan udang menghampiri dirimu ...". Memang betul, kita memiliki kekayaan minyak, batubara, emas, perak, aluminium, tembaga, dsb. Belum lagi di lautan, dan pesisirnya, kita memiliki pasir besi, hasil lautan, dan alkisah mengatakan kekayaan kekaisaran Cina dahulu kala, distribusi melalui kapalnya yang akan dikirim ke salah satu kerajaan di Nusantara karam di dasar laut kita yang nilai jualnya bermilyaran Rupiah mungkin. Tidak lupa dihitung keindahan alamnya yang terlalu banyak pilihan di setiap pulau yang kita miliki, ada yang mendunia, ada pula yang belum terdengar. Betul-betul devisa negara yang tidak sedikit.

Selain sumber daya alam, kita jelas memiliki sumber daya manusia yang tidak kalah kelas dengan dunia internasional. Sudah banyak juara olimpiade fisika, kimia, matematika, dsb, tercatat sebagai produk terbaik bangsa, belum lagi juara first step to noble prize yang sekarang mendapat beasiswa dari salah satu instansi akedemik di Amerika, yang dilahirkan di Papua. Mereka yang dikirim atau mengirimkan dirinya sendiri ke luar negri untuk menuntut ilmu berhasil menunjukkan wajah Indonesia sebagai Macan Asia dalam bidang disiplin ilmu-nya masing-masing.

But what went wrong ? Kita kok hanya bisa menumbuhkan ekonomi sampai 5.5% saja. Bukankah SDA dan SDM cukup memadai untuk memproduksi sesuatu, baik dalam bentuk barang maupun wacana ?

Yang salah adalah SDM nya jelas, Allah memang sudah menyediakan alam, tetapi manusianya lah yang harus cermat dalam mendistribusikannya. Banyak dari SDM-SDM yang menuntut ilmu ke negri seberang tidak berhasil atau malah tidak ingin merubah Indonesia. Ada dua macam orang yang saya maksud ini. Pertama adalah self-centered Indonesian, dan kedua adalah Hypocrites Indonesian.

Self-centered Indonesian adalah dia yang mencintai dunia dan kantungnya. Ketika dunia internasional mempercayai dirinya untuk duduk di instansi nya. Tanpa berpikir dua kali dia akan menerimanya, dengan alasan gaji, dan kedamaian. Memang standard gaji di Indonesia kecil sekali untuk otak sekaliber mereka, tetapi otak mereka mungkin saja dapat merubah standard gaji menjadi grafik naik. Memang juga kalau ingin gaji yang besar untuk sementara ini hanya ada di Jakarta saja, sementara Jakarta kelewat sumpek. Tetapi otonomi daerah sedang diberlakukan, bukan tidak mungkin peluang-peluang bisa di dapatkan tidak hanya di ibu kota saja.

Hypocrites Indonesian. Ketika mereka masuk ke dalam sistem suatu negara maju di mana mereka sedang menuntut ilmu, mereka merasa bahwa ternyata Indonesia memiliki sistem yang bobrok, sehingga yakinlah mereka bahwa Indonesia memerlukan perubahan yang besar demi kelangsungan hidup bernegara. Tetapi ketika mereka pulang kembali ke Indonesia, ternyata mereka malah membiarkan sistem itu berlarut-larut. Tidak ada inisiatif membantu merubah menuju kebaikan karena dapat menikmati sistem kotor itu juga.

Harapan kita semua adalah nasionalisme Bung Karno dapat menjadi kenyataan, dan kita dapat selalu menyenandungkan lagu Koes Plus dihari-hari kita. Mungkin belum kita yang merasakan, tetapi insya Allah anak cucu kita.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home