Saturday, February 12, 2005

Untuk Apa ?

Ketika manusia yang sudah menapak menjadi dewasa, walau kedewasaan tidak dinilai dari berapa umurnya, dia mulai bertanya apakah arti hidup itu. Dia mulai berpikir, bertanya, dan berandai, mengapa saya harus sekolah, kuliah, kerja, menikah, dan pada akhirnya mati, meski mati bisa ditaruh diurutan manapun. Apa jadinya bila manusia mati ? Apakah kita akan hilang in a thick air somewhere around this universe ? Apabila saya lahir dari ibu saya dan ibu saya lahir dari ibunya. Maka dari manakah manusia pertama lahir ? Manusia jauh berbeda dari hewan, kita memiliki potensi fisik dan mental lebih maju dari hewan apalagi tumbuhan. Kalau segala sesuatu di dunia ini ada awal dan akhir, maka bumi ini pun akan ada akhir. Apa jadinya kalau bumi ini dan planet-planet lainnya berakhir ? Apakah dengan kapal antariksa kita akan menjelajahi seluruh universe ini ?

Seorang manusia yang sudah bekerja, dia akan menghabiskan hari Senin sampai Jumatnya untuk banting tulang dan peras keringat untuk uang, dan pada hari Sabtunya dia akan menghabiskannya untuk kesenangan dunia, dan hari Minggunya untuk istirahat untuk memulai kembali roda kehidupannya hingga akhirnya dia kehilangan produktifitas kerjanya. Dan setelah dia memiliki uang banyak sekali, dan dia belanjakan untuk hal yang sama terus menerus. Mulai muncul dipikiran, apa lagi yang bisa saya lakukan dengan uang ini ? Uang mulai terasa hambar dan tak berguna bagi mereka.

Muncul dibenak mengapa berkesan tak berguna hidup ini. Untuk beberapa orang, mereka akan mengambil kesimpulan bahwa, selagi hayat masih dikandung badan, ini kesempatan kita untuk menikmati (dengan cara yang amoral) hidup. Apakah memang benar kita dilahirkan di dunia untuk berlaku destruktif ? Padahal ada banyak manusia yang mendapat potensi fisik dan mental yang baik. Apakah manusia-manusia ini dilahirkan untuk berlaku demikian ?

Di hidup ini kita selalu dihadapkan pada dua pilihan, jalan benar atau sebaliknya. Di bawah hukum yang berlaku, kita diwajibkan berlaku benar. Tapi apakah hukum dapat memayungi seluruh lapisan masyarakat dan seluruh kebenaran. Dan apakah definisi benar itu sebenarnya ? Seorang teman saya, sebut saja si A. Terbiasa berbohong untuk setiap perkataannya selama hidupnya, sampai pada suatu masa dia sendiri tidak dapat mengukur tingkat kebohongan itu. Apakah hukum dapat bertindak pada si A yang sedang berbohong pada si B, di dalam ruangan tertutup.

Hukum dilahirkan dari adanya norma-norma baik. Tapi dari manakah norma-norma baik itu ? Apakah sekelompok manusia pada suatu masa duduk bersama membahas apakah norma-norma baik itu ? Padahal setiap manusia punya kepentingan buruk untuk kesenangan sesaatnya selama masih hidup di dunia.

Kembali keseluruh pertanyaan yang ada. Terambil kesimpulan bahwa, Dia memang ada, Dia yang telah membawa cahaya ke dalam kegelapan, Dia yang menuntun si buta, si bisu, si tuli, dan si kusta dengan cara-Nya yang mengagumkan. Dia sediakan dua jalan berbeda dengan kompensasi yang berbeda pula, agar kita tau apa arti hidup ini. Dia sediakan potensi-potensi yang ada untuk kepentingan hayat hidup orang banyak. Dia janjikan keindahan tak berakhir, apabila kita mau menyisihkan sebahagian uang kita untuk mereka yang tidak memiliki potensi-potensi seperti yang lainnya. Dia yang menghukum segala hal yang salah walau sudah terhukum oleh manusia atau belum di dunia ini.

Dialah Allah, yang mengirim Al-Qur'an untuk kamu yang bertanya.

"Read! Your Lord is the Most Bountiful one who taught by the pen, who taught men what he did not know". (Al-'Alaq:1-5).

"With Him are the keys of the Unseen, the treasures that none knoweth but He. He knoweth whatever there is on the earth and in the sea. Not a leaf doth fall but with His knowledge: there is not a grain in the darkness (or depths) of the earth, nor anything fresh or dry (green or withered), but it is (inscribed) in a Record clear (to those who can read)". (Al-An'am:59).

Friday, February 11, 2005

Munafik Yang Memuakkan...!!!!

Terlalu lama Indonesia terbakar dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme-nya. Era reformasi melahirkan banyak perubahan di Indonesia, mulai dari kebebasan pers, kebebasan kelahiran partai-partai politik, tokoh-tokoh baru, dan lain sebagainya. Tapi semangat baru kita ini mulai menjorok kepada ketololan. Parpol-parpol dan tokoh-tokoh baru ini banyak yang mengatas-namakan semangat demokrasi dan reformasi tapi masih saja mengorek borok yang sama. Tokoh-tokoh baru ini dengan tololnya mencap mukanya dengan tinta tebal yang bertuliskan "MUNAFIK". Tanpa rasa malu dan bertanggung jawab merasa saatnya giliran mereka yang tidak sempat kebagian pada rezim drakula orde baru untuk berkreasi dan inovasi dalam menggali sumber daya-sumber daya yang ada untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Mungkin sebelum mereka duduk di sana, mereka berjanji pada istri dan anaknya untuk melakukan perubahan-perubahan untuk kebaikan masyarakat. Memang dasar orang Indonesia, ibarat disuguhkan wanita cantik di depan mata, pasti pada akhirnya jatuh mental mereka. Pada saat mahasiswa mereka berteriak-teriak hingga luka di pita suara, tapi senatnya malah korupsi uang dari dekannya, hingga pada saatnya mereka berada di lingkaran birokrasi, "rollercoster effect" pun terjadi, lagi. Memang sudah ada di gen orang Indonesia, LUPA, SOK PEDULI dan SOK BISA.

Tidak mendapat jabatan mereka akan menggong-gong dengan mengatas-namakan diri "Oposisi", bila dapat, mereka akan jadi drakula generasi baru. Penyakit kronis yang meradang selama bertahun-tahun lamanya. Jangan salahkan Belanda yang menjajah selama 350 tahun, jangan salahkan Bung Karno yang ingin jadi Presiden seumur hidupnya, jangan salahkan Suharto yang rajin keliling nusantara untuk menyayangi anak-anaknya, jangan salahkan mereka. Tapi kita yang bersalah yang hanya ingin, ingin, dan ingin tanpa berpikir jernih. Negeri Titanic ini sudah bukan kapal besar yang nahkodanya kelimpungan bagaimana caranya agar tidak tenggelam, ini adalah getek lusuh yang bocor di sana-sini, di mana isinya rebutan mau setir getek untuk mancing ikan di lautan yang kotor.

Menangis ? Ya memang itu saja yang bisa kita lakukan. Berdarah ? Sudah mandi darah kita selama ini. Belum puas ? Entah sampai kapan kemunafikan ini merajalela. Mulai dari diri sendiri dari hari ini. Jangan berharap orang lain bisa memberi apa untuk diri kita. Harapkan potensi mental dan fisik kita untuk getek ini. Mulai dari organisasi sekecil-kecilnya untuk menegakkan demokrasi, keadilan, dan transparansi.

Ingin di bawa ke manakah Indonesia kawan ???????